Pagi buta, jam menunjukan pukul 02:00. Jam dinding yang terbuat dari kayu itu nampak masih kokoh berada di sudut ruangan dengan bunyi khas yang selalu keluar ketika jarum jam yang menunjukan angka genap. Ketika melihat suami yang masih terlelap disampingnya, Fatimah beranjak untuk bangun, dihampirinya kamar anak perempuan bungsunya. Melihat selimut yang dipakai anaknya terlepas dari tubuh yang harusnya terbalut itu ia bergegas memakaikannya. Rina anak bungs Fatimah yang masih kelas satu SMA itu nampak terlelap ketika ibunya masuk kedalam kamarnya. Kegiatan rutin yang selalu dilakukan Fatimah ketika dini hari yang tidak pernah di lewatkannya.
Tanpa membuang waktu dengan udara yang serasa menusuk tubuh saat itu diambilnya air wudhu untuk melakukan sholat tahajud, dzikir dan membaca kitab al-quran yang terlihat kusam dan robek dimana-mana namun tidak mempengaruhi kekhusyuan ibadahnya satu persatu kata diucapkannya dengan nada khas yang terlantun lantang. Satu jam berlalu, kitab al-quran itu perlahan ditutupnya kemudian disimpan kembali di atas lemari dengan tinggi dua meter yang terletak di pojok kamar. Suasana cahaya lampu yang tidak terlalu terang dengan ukuran kamar 3 x 5 tertata rapih dengan barang-barang seederhana di dalamnya tidak terlalu megah hanya kamar sederhana yang menjadi tempatnya beristirahat tiap malam.
Fatimah tengah bersiap-siap, diambilnya jaket tebal dan kerudung hitam yang terlipat rapi di dalam lemari tua yang sudah mulai rapuh itu, diambilnya pula keranjang dan dompet kecil yang selalu tersimpan di meja kecil dekat lemari begitu mudah dipakainya dengan begitu saja. Dilihatnya jam dinding yang ternyata sudah menunjukan pukul 03.30 pagi suami dan anak bungsunya masih terlelap biasanya mereka bangun ketika adzan shubuh berkumandang. Fatimah berjalan menuju pintu depan ditariknya gagang pintu yang terasa dingin itu seketika angin menerpa wajahnya yang terlihat pucat walaupun udara dingin menusuk pori-pori kulitnya namun ia terus berjalan keluar rumah.
Tepat depan pekarangan, rumah sederhana dengan ukuran yang tidak terlalu besar itu lokasinya lagsung menjorok ke arah jalan raya. Fatimah berdiri depan pagar, ia nampak sedang menunggu sesuatu, tubuhnya menggigil terkena terpaan udara pagi, penerangan masih gelap gulita untunglah tidak lama kemudian apa yang ditunggunya datang. Sebuah angkot berwarna hijau dengan nomor 08 didalamnya terlihat lelaki yang jauh lebih muda dibandingkannya membanting setir berhenti kemudian menyapa Fatimah “umi tiris hayu buru” dalam bahasa Indonesia ini berarti “ayo bu dingin buruan”.
Tanpa fikir panjang Fatimah mengangkat kaki kanannya dan melangkah ke dalam angkot. 30 menit duduk didalam angkot dengan penerangan remang-ramang, ahirnya sampai di sebuah tempat yang nampak sudah banyak aktivitas manusia di dalamnya. Kondisi jalan yang berlubang dan becek karena hujan tadi malam, Fatimah menginjak kubangan air ketika ia turun dari angkot meski terasa air mengenai kaki dan celana panjangnya namun seakan tidak dihiraukan ia mengeluarkan uang lembaran sebesar Rp. 3000 untuk diberikan pada sopir angkot “nuhun mang”, “makasaih pak” katanya. Banyak orang yang berlalu lalang dan pedagang-pedagang yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan. Sayuran-sayuran segar, kue basah, sembako dan masih banyak lainnya namun pada pagi buta seperti ini lebih banyak para pedagang yang menjual bahan-bahan makanan segar.
Fatimah bergegas mengeluarkan keranjang yang dari tadi dibawanya, barang pertama yang menarik perhatiannya adalah sayuran-sayuran segar yang banyak dijajakan. Dipilah dan dipilihnya bergagai jenis sayuran, laki-laki pedagang sayuran yang memakai topi koboi lusuh dengan kumis tebal diwajahnya nampak telah menjadi langganan Fatimah ketika belanja di pasar. Pasar tradisional sukabumi yang masih belum mendapatkan perhatian dari pemerintah ini masih terlihat berantakan dengan kondisi becek dan kotor namun ini malah jadi sumber mata pencaharian Fatimah. Sebagai pedagang yang memiliki warung kecil dengan menjajakan sayuran, sembako dan makanan ringan Fatimah selalu menghabiskan aktivitas paginya di pasar becek ini.
Setelah keranjang yang dibawanya terisi penuh ia bergegas kerumah. Pukul 06:00 fatimah sudah berada dirumah melayani suami dan anaknya yang hendak pergi sekolah, disiapkannya adonan dari tepung yang diberi air kemudian dimasukannya tempe untuk digoreng itulah menu favorit tiap pagi. Memakan gorengan tempe bertepung dengan nasi ditaburi sedikit garam, walaupun sederhana namun entah mengapa tempe goring ini selalu dinantikan keluarganya.
Selagi rina memakan sarapannya Fatimah membuatkan teh hangat untuk suaminya yang sedang menyiapkan peralatan-peralatan untuk berkebun. Hendri suami Fatimah beralih profesi semenjak satu tahun lalu karena kebangkrutan yang dialaminya dulu ia merupakan wiraswasta yang dapat membahagiakan keluarganya secara material namun kini ia hanya seorang ayah dan suami biasa yang dapat memberikan kebahagiaan inmaterial terhadap isteri dan anaknya. “abah, ieu leueut heula abi bade buka warung,siang disusul ka kebon”, “abah ini diminum dulu umi mau buka warung terus nyusul abah ke kebun” walaupun dengan keadaan yang serba pas-pasan namun Fatimah tetap setia menemani suaminya itu.
Tidak terlalu pintar dekat dengan orang namun bersosialisasi dengan baik itulah sosok Fatimah dimata tetangganya. Keadaannya yang serba sederhana saat ini jauh berbeda dengan dulu. Hendri memiliki usaha penggilingan beras dan beberapa sawah ia juga selalu mencoba bereksperimen dengan menjual makanan-makanan dalam jumlah besar kala itu kehidupan mereka dalam segi ekonomi sangat tercukupi namun semenjak hendri menjual tempat penggilinngan berasnya dan mempercayakan uang dari hasil penjualan itu kepada anak perempuan pertamanya ia hanya mendapatkan harapan kosong saja. Hendri dan Fatimah memiliki lima orang anak perempuan, dua diantaranya telah memiliki keluarga dan dua lagi bekerja sebagai tkw di Malaysia, hanya rina yang tinggal dirumah. Siska anak pertama Fatimah membujuk ayahnya itu untuk meminjamkan uang hasil penjualan tempat penggilingan beras dengan iming-iming setiap bulan akan dikembalikan dengan cara pencicilan pembayaran, hendri menyanggupi keinginan anaknya itu begitu saja tanpa fikir panjang namun yang terjadi ia dibuat pusing dengan janji kosong tersebut berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun siska memberikan harapan palsu kepada ayahnya itu. Hingga sedikit demi sedikit hendri menjual sawah-sawah yang dimilikinya kini yang tersisa hanyalah kebun dengan ukuran tidak terlalu besar yang selalu dipeliharanya dan ditanami berbagai macam tumbuhan. Walaupun sempat pasrah hendri dan Fatimah akhirnya bangkit kembali dengan membuka usaha kecil-kecilan. Rina kini hanya diberi uang jajan Rp.3000 perhari dengan harus berjalan kaki terlebih dahulu menuju sekolahnya.
Siska anak pertama Fatimah sebenarnya memiliki perangai baik namun karena ia menikah dengan orang yang salah sehingga ia terpengaruhi yang tidak benar. Hendri kadang mengeluh kepada Fatimah namun dengan sabar Fatimah menenangkan suaminya itu. Terkadang hendri dan Fatimah menggantungkan harapannya pada siska supaya dapat membiayai adik-adiknya, namun apa yang terjadi malah sebaliknya kedua anak mereka siti yang masih berumur 20 tahun dan elin berumur 25 tahun, mereka nekad mencari nafkah di negeri seberang Malaysia. Rina yang masih duduk di SMA tidak tahu menau mengenai kondisi kedua orangtuanya namun ia selalu mengerti ketika ia memiliki sebuah keinginan maka selalu diurungkan untuk diberitahukan kepada kedua orangtuanya. Disaat Fatimah merasa tertekan dengan keadaan keluarganya yang berada dalam kondisi kekurangan pada saat ini ia selalu mencurahkannya dengan tuhan.
Pertengahan bulan desember 2009, siska datang membujuk hendri dan Fatimah untuk menjual kebun satu-satunya milik mereka. Entah dengan rayuan apa, mereka ahirnya menjual kebun itu dan apa yang mereka dapatkan adalah nol, semua uang mereka berikan pada siska. Ketika mempunyai keinginan dia datang ketika telah terpenuhi dia pergi itulah siska namun kedua orangtua ini masih tetap saja menyayangi dan memaafkan anaknya itu. Kini hendri dan Fatimah hanya menggantungkan hidupnya dari warung kecil yang dimilikinya. Tidak bertahan berapa saat mereka mengalami kerugian, banyak pelanggan yang berhutang dank arena tidak sanggup membeli barang-barang untuk dijual kini warung Fatimah sangat kosong dan para pelanggan ahirnya pergi meningglkannya. Pada kondisi terpuruk saat ini Fatimah dan hendri hanya pasrah, mereka menjadi buruh tani beruntung rina tidak putus sekolah karena kedua saudara perempuan yang menjadi TKW selalu mengirimkan uangnya perbulan walaupun tidak seberapa namun uang itu cukup untuk memenuhi kebutuhan sekolah rina.
Hendri mulai mencoba usaha baru ia membeli bamboo kemudian dijadikannya tempat nasi tradisional tiap hari, mulai pagi hingga siang hari disiapkannya bambu-bambu kemudian dipotong hingga menjadi bagian-bagian kecil untuk dapat dianyamnya menjadi boboko yaitu sebuah tempat nasi, hendri memang sosok suami yang bertanggung jawab dan kerja keras setidaknya begitulah bagi Fatimah sementara Fatimah menjadi buruh tani ketika ada yang membutuhkan jasanya untuk memanen padi, ia selalu siap menerima pekerjaan itu.
Fatimah hari ini tidak pergi ke sawah, ia menemani suaminya yang sedang mengayam bambu di luar pekarangan. Dengan langkan bergegas ia memasuki rumah dan melihat nasi yang dimasaknya ternyata sudah matang. Asap yang keluar dari tungku pembakaran di siang hari tidak menjadikannya malas untuk memasak. Karena tidak mampu untuk membeli gas Fatimah memutuskan memasak dengan tungku pembakaran siang hari rina masih disekolah hingga pukul 14.00 nanti ia pulang. Setelah menyelesaikan masakannya Fatimah bergegas mengambil air wudhu dan sholat dzuhur namun ia tak mendapati suaminya di dalam rumah biasanya mereka melakukan sholat berjamaah. Fatimah berjalan menuju pekarangan rumah dibukanya gorden jendela untuk mengintip kea rah luar ternya hendri masih disana namun terlihat aneh ia seperti terkulai. Fatimah bergegas menghampiri suaminya “abah, abah kunaon”, “abah kenapa?” dia hanya menjawab “teuing ieu teu bisa gerak leuleus”, “gak tahu ini gak bisa gerak lemes”.
Panik dan takut menghampiri Fatimah tak fikir panjang ia berteriak meminta pertolongan. Seorang pemuda dengan perawakan tinggi yang kebetulan lewat kemudian membantu Fatimah untuk membawa hendri kedalam rumah “nuhun ujang ”, “makasih dek” lantas pemuda tersebut pergi meninggalkan mereka. “abah kunaon piraku rematik mah rek diparios moal”, “abah kenapa mau diperiksa dokter nggak”, hendri hanya menggeleng karena tahu dengan kondisi keuangan mereka saat ini. Fatimah hanya bisa membuatkan ramuan-ramuan alami untuk suaminya dari kunyit. Ketika rina pulang sekolah, Fatimah memintanya untuk menghubungi siska meminta uang untuk biaya pengobatan hendri namun berkali-kali dihubungi tidak ada jawaban hingga ahirnya nomer siska tidak aktif.
Suatu malam hendri mengeluh di depan rina, namun tidak ada Fatimah saat itu. “rina kudu bisa jaga diri teu aya abah nitip umi da kakak anjeun mah teu peduli geus nyeri hate abah mah”, “rina harus bisa jaga diri kalau ayah gak ada titip umi kakak kamu nggaak peduli sudah sakit hati saya” rina hanya diam mendengarkan namun disela pelipis matanya ada butiran air mata yang tertahan untuk tidak jatuh “abah enggal damang”, “abah cepet sembuh”. Lama kelamaan kondisi hendri pulih namun sayangya ia didiagnosa memiliki penyakit jantung yang kadang selalu kambuh ketika merasa cape dan banyak pikiran. Fatimah hanya bisa berdoa jauh dilubuk hatinya sangat sedih dan takut jika hendri meninggalkannya namuns egala sesuatu selalu ia serahkan pada tuhan. Fatimah merawat suaminya dengan baik ketika hendri tidak bisa bangun sama sekali dan ia ingin buang air besar Fatimah memapah hendri walaupun tubuhnya tidak kuat menopang hendri namun ia selalu berusaha dan terlihat tegar di depan suaminya hingga ahirnya hendri hanya bisa melakukan segala sesuatunya di tempat tidur saja Fatimah dengan ikhlas membersihkan kotoran dan megurus hendri.
“hampura abi, sing ridho ngurusan abi nu cigah kieu”, “maafin saya, ikhlasin kamu mengurus saya sampe seperti ini”, “puguh atuh bah abi mah ridho kusaha deui ari sanes ku abi mah”, “iya pak saya ikhlas sama siapa lagi jika bukan sama saya”. Fatimah selalu setia kepada suaminya.
Pertengahan januari 2011, Hendri bisa berjalan dan bergerak kembali namun sering ada komplikasi dengan tubuhnya. Penyakit jantungnya lebih sering kambuh hingga ia masuk rumah sakit dan diharuskan dirawat selama satu minggu. Fatimah kesana kemari meminta pinjaman uang untuk pengobatan suaminya. Siska sudah dihubungi namun tidak ada tnggapan sama sekali satu-satunya cara yang Fatimah miliki adalah meminta bantuan keluarganya, beruntunglah saat itu ada yang bisa memberikannya pinjaman. Beberapa bulan setelah keluar dari rumah sakit hendri merasakan panas pada perutnya hari itu kamis, malam jumat hendri meminta Fatimah untuk dibawa berobat ke rumah sakit. Fatimah bingung apa yang harus dilakukannya tidak ada uang pegangan yang dapat digunakan namun melihat suaminya bersikeras ingin kerumah sakit Fatimah meminta pinjaman lagi ke tetangganya hanya Rp.500.000 fatimah meminjam uang arisan dari tetangganya. Sesaat sebelum pergi hendri duduk di ruang tamu dan rina ada disana berbeda dari biasanya hendri mengajak rina bercanda ia tersenyum lepas sangat jarang sosok hendri ayah yang tegas berbincang santai dengan anaknya. Selepas magrib hendri dan Fatimah bergegas pergi ke rumah sakit hanya ada rina dan cucu perempuannya dirumah.
Dibutuhkan waktu satu jam untuk sampai di rumah sakit Fatimah setia menemani disamping hendri, sampai di rumah sakit Fatimah mengambil nomor antrian sedangkan hendri duduk di kursi tunggu, beberapa kali hendri mengeluh perutnya terasa panas. Fatimah hanya bisa menenangkannya dengan berkata “sabar”. Lima belas menit menunggu Fatimah melihat suaminya jatuh dari kursi tidak sadarkan diri, dengan panic ia menghampiri dokter untuk menerobos antrian. Hendri dibopong ke dalam ruang periksa, dokter laki-laki mengeluarka alat-alatnya untuk memeriksa hendri namun tidak lama kemudia ia berkata “bu ini bapaknya harus dibawa kerumah sakit besar supaya bisa ditangani”, tak piker panjang angkot yang disewa Fatimah membawa mereka ke rumah sakit besar di sukabumi, hendri di dudukan ke kursi roda dengan keadaan tidak sadarkan diri.
Fatimah terkulai lesu disamping ranjang suaminya yang belum juga sadarkan diri. Dua orang suster muda dengan umur perkiraan umur 23 tahun itu mengecek infusan hendri dan mengeluarkan suntikan. Kemudian ia menusukan ke tangan kanan hendri seketika Fatimah protes, kenapa darah suaminya diambil terus menerus, dan mereka hanya menjawabnya dengan berkata”untuk pemeriksaan bu”. Sekitar pukul 02.00 dini hari Fatimah masih terjaga di sebelah suaminya, kaki hendri bergerak spontan Fatimah senang melihat suaminya namun sesaat kemudian ada bunyi yang dikeluarkan suaminya seperti bunyi satukali cegukan kemudian tidak ada repn apa-apa lagi. Pfatimah fatik ia berlari keluar kamar ramat mencari dokter. Seorang dokter lelaki datang dan memeriksa hendri. Dibukanya pelopak mata hendri kemudian ia menutupi mukanya dengan selimut. Dokter lelaki paruh baya itu mendekati Fatimah dan menepuk pundaknya ia berkata “sabar ya bu, yang tabah”. Fatimah tidak percaya suaminya sudah tidak ada sepanjang waktu di rumah sakit air mata Fatimah seraya mengantar kepergian hendri.
Fatimah masih terpukul dengan kepergian suaminya begitu juga rina, ketika meninggalnya hendri siska datang dan rika anak kedua fatiimah. Tidak ada bentuk penyesalan sama sekali dari siska. Beberapa hari setelah hendri pergi rumah begitu sepi Fatimah masih bersedih namun ketika ia melihat rina anak bungsunya ia mencoba bangkit dan membuka lembaran baru dengan anakya itu. Anak merupakan motivasi hidup yang dimiliki Fatimah saat itu. Beberapa bulan setelahnya hanya ada Fatimah dan rina dirumah mereka mengalami kerisis keuangan lebih parah dari sebelumnya. Fatimah mendapatkan nasi untuk makan dengan meminta-minta pada anggota keluarganya.
Tagihan hutang dari mana-mana dengan sikap orang-orang yang sangat menyakitkan. Rina masih punya anak-anak namun ia tidak ingin merepotkan anak-anaknya. Elin anak perempuan Fatimah yang menjadi tkw di Malaysia didiagnosa menderita usus buntu dan harus dioperasi dan ia harus ditebus supaya dapat pulang ke Indonesia. Rina anak bungsunya didiagnosa menderita tumor dan harus di operasi, siska menggadaikan rumah milik Fatimah satu-satunya itu ke bank tanpa sepengetahuan anak-anak yang lainnya. Akhirnya Fatimah terpaksa menjual rumahnya itu untuk membayar hutang dan pengobatan kedua anaknya tidak ada uang yang tersisa. Lagi-lagi siska berperan dalam penjualan rumah ini, namun Fatimah sebagi seorang ibu selalu bisa memaafkan dan berusa mempercayai anaknya tersebut.
Mei 2011 rina lulus dari sma, Fatimah senang atas kelulusan anaknya ada keinginan dibenaknya untuk menyekolahkannya lagi ke perguruan tinggi negeri namun apa daya dengan kondisi saat itu Fatimah hanya bisa mengubur angan-angannya. Rina merasa tidak ingin membebani ibunya itu ia tidak pernah mengutarakan setiap keinginannya, beruntungnya rina mengikuti program beasiswa di sekolahnya untuk meneruskan ke perguruan tinggi dengan mengurus berkas-berkas yang lumayan rumit. Awalnya rina pesimis namun tak menghentikan langkahnya untuk mencoba. Hingga ahirnya ternyata rina terpilih salah satu dari sekolahnya yang mendapatkan beasiswa tersebut. Fatimah berkaca-kaca dipeluknya anak bungsunya itu dengan erat “belajar yang bener ya jangan mengecewakan” bisik lembut di telinga rina. Betapa bangganya Fatimah dengan beasiswa yang didapatkan rina setidaknya tidak sia-sia apa yang selalu diperjuangkannya selama itu.
Sekarang ini Rina kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di bandung, karena mendapatkan beasiswa ia tinggal diasrama sehingga tidak tinggal dengan fatimah. Terpaksa ia harus pindah kesana, Fatimahpun ikut pindah dan tinggal di rumah anak keduanya, eka anak keduanya menikah dan tinggal di bandung sehingga tidak terlalu sulit untuk Fatimah dan rina dalam mencari tumpangan hidup. Walaupun tidak memiliki rumah sendiri dan hanya menumpang dirumah anak dan sanak keluarganya dan dengan keempat cucunya Fatimah bisa sejenak menikmati masa tuanya dengan tenang walaupun bukan kebiasaannya bisa hidup tanpa kegiatan setidaknya sekarang ia dikelilingi orang-orang yang dapat membahagiakan dirinya. Namun karena tidak betah ada di kota orang Fatimah lebih memilih kembali ke sukabumi untuk mengurus ayahnya yang sedang sakit bolak-balik sukabumi bandung kadang selalu dilakukan.mengunjungi makam suaminya dan membersihkan kuburan rutin ia lakukan ketika berada di sukabumi.
“Dekat dengan keluarga lebih enak dari pada jauh dan kampong halaman lebih nyaman dibandingkan kampong orang lain” katanya.Kini Fatimah hidup sesuai keinginannya dan rina, anak perempuan harapannya saat ini masih menjadi kebanggan miliknya hingga ahir nanti. Ketegaran Fatimah dalam menjalani kerasnya kehidupan menjadi sosok yang membanggakan anak-anaknya. Fatimah selalu tegar dan tidak memperlihatkan kelemahannya di depan orang sekaligus anak-anaknya sendiri namun ada di sisi lain ia merasa kesepian.
Itulah Fatimah perempuan paruh baya yang memiliki ketegaran sangat besar dan tanggungjawabnya terhadap anak-anaknya untuk menyekolahkan dan mendidiknya menjadi anak-anak yang berguna dengan tidak pernah lepas dari ajaran agama yang selalu ditekankan sebagai pedoman mereka. Memaafkan bukanlah hal yang gampang namun ibu yang satu ini dapat memaafkan kesalahan orang lain dengan mudah sekalipun ia pernah menyakiti dirinya. Tanpa pikir panjang saya mengambil objek tokoh ibu Fatimah karena sikap beliau yang bisa dicontoh. Saya mengenal beliau dari semenjak kecil hingga sekarang beliau sedang berada di sukabumi.
Sebagai wanita tegar Fatimah menjalani hidupnya sekarang ini mengalir seperti air, “kapan pun ajal menjempun saya siap” katanya. “Walaupun berat meninggalkan anak-anaknya tetapi kalau itu telah menjadi kehendak tuhan, kita tidak boleh mengatakan tikad mau terima saja tuhan memiliki rencana yang indah dibalik kesedihan ataupun musibah yang telah diberikannya, tuhan akan menyukai hambanya yang bersabar dan ikhlas dalam menjalani kehidupan”
Tegarlah IBU
Monday, May 12, 2014 on Labels: Jurnalistik